Sabtu, 10 Februari 2018

Posted by Aldy Forester |

Pemilu Legislatif atau biasa disebut Pileg sudah semakin dekat, kalau tidak salah nanti tahun 2019.
Setiap menjelang Pemilu Legislatif, yang paling sering terlihat adalah semakin maraknya atribut kampanye seperti baliho dan bendera parpol yang ukurannya sangat besar. Biasanya dipasang di pinggir jalan khususnya di tempat strategis seperti perempatan dan pertigaan. Pemasangan atribut kampanye yang terlalu banyak itu membuat pemandangan menjadi kurang sedap. Tidak sedikit masyarakat yang merasa terganggu dengan pemandangan seperti itu, walaupun sebagian besar hanya bisa pasrah dan mungkin mengumpat dalam hati.

Lucunya, penampilan para Caleg di baliho-baliho pada umumnya seirama dengan ciri sebagai berikut :

  • Menggunakan foto setengah badan super besar
  • Mimik wajah dalam foto sedang tersenyum (atau terpaksa senyum)
  • Kedua telapak tangan dicakupkan seolah mengucapkan salam
  • Terdapat tulisan besar “Mohon doa restu dan dukungnnya” *entah ‘nya’ siapa yang dimaksud
  • Tidak lupa, ditambah tulisan “Mohon coblos nomor xxx
  • Lambang partai tidak terlalu menonjol seperti jaman dulu
  • Kadang ditambah jargon “Berkorban Untuk Masyarakat”, “Mensejahterakan rakyat”, “bla..bla..bla..”
  • Dan seterusnya, silahkan tambahkan sendiri
Yang membuat miris adalah, tidak satu pun diantara baliho yang tersebut bisa memberikan gambaran tentang apa yang ditawarkan oleh si caleg. Intinya, mereka hanya berlomba memasang baliho sebesar-besarnya dan sebanyak-banyaknya dengan harapan masyarakat bisa tertarik untuk memilih mereka.
Belum ada yang berani memasang janji yang riil jika masyarakat memilih mereka, misalnya dengan tulisan “Jika anda mau memilih saya, saya berjanji akan membuat perda agar pembangunan hotel di Buton di stop!“. Atau yang yang lain misalnya “Pilih saya menjadi anggota DPR, saya berjanji akan membuat angkutan umum murah tersedia sampai ke pelosok Buton“.


Jadi bukan hanya kalimat standar dan muluk-muluk seperti yang ada selama ini. Dan jika memang merasa tidak bisa berbuat apa-apa setelah menjadi anggota DPR ya sebaiknya urungkan saja niat menjadi Caleg. Apalagi menjadi DPR seharusnya bukan sebuah harga mati, bukan target yang harus diperjuangkan mati-matian dengan mengorbankan segalanya khususnya ekonomi.
Sebab menjadi DPR sebenarnya merupakan sebuah mandat dari masyarakat. Mandat dalam arti sebenarnya, artinya DPR ditugaskan mewakili sekian ribu masyarakat sehingga bisa membuat sebuah aturan, keputusan, kebijakan dan lainnya yang sesuai dengan keinginan masyarakat. Jadi jika seorang Caleg pada akhirnya gagal, seharusnya mereka tidak perlu kecewa, tidak perlu stress, karena itu artinya kita belum dipercaya untuk menjalankan tugas.
Yang menjadi masalah adalah jika menjadi DPR adalah “keinginan menggebu” seorang Caleg, dan celakanya dia menggunakan berbagai macam cara untuk menarik minat masyarakat agar memilihnya. Tentunya dengan melakukan berbagai macam pencitraan seperti mengadakan kunjungan ke tempat/komunitas tertentu, memberikan bantuan baik berupa uang dan barang serta berbagai hal lainnya. Cara-cara ini mungkin tidak salah, tetapi merupakan cara yang keliru, tidak mendidik.
Yang lebih bijak, seorang Caleg harusnya cukup melakukan sosialisasi saja, tidak perlu memberikan bantun ini itu. Sosialiasasi ini tujuan untuk memperkenalkan diri serta menjabarkan rencana / program kerja / ide / gagasan serta janji di Caleg jika masyarakat mau memilihnya. Sosialisasi bisa dilakukan dengan cara tatap muka langsung ataupun menggunakan media lain seperti alat peraga (baliho, bendera, spanduk), media massa (koran, televisi, dll), dan juga internet. Media yang paling murah tentu saja internet, yang media inilah yang harusnya lebih banyak dimaksimalkan karena memungkinkan adanya komunikasi dua arah.
Internet memungkinkan adanya interaksi antara Caleg dan masyarakat calon pemilih. Berbeda dengan media lain seperti baliho, bendera, spanduk, iklan koran dan televisi dimana komunikasi hanya satu arah yaitu dari Caleg ke masyarakat / calon pemilih. Masyarakat seperti dipaksa untuk menerima apapun yang dikatakan oleh si Caleh tanpa bisa membantah, mengomentari atau pun memberikan masukan.
Tahap sosialisasi atau yang lebih dikenal dengan kampanye harusnya memungkinkan komunikasi dua arah. Jika melakukan tatap muka langsung, tentu membutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Masyarakat juga harus berkumpul di suatu tempat, si Caleg juga harus melakukan banyak kunjungan serta dana yang tidak sedikit. Sedangkan komunikasi dua arah melalui internet bisa menjangkau semuanya tanpa harus berkumpul di satu tempat dan di satu waktu yang sama.
Satu-satunya kekurangan media internet adalah belum meratanya kemampuan masyarakat menggunakan internet. Benar ini adalah sebuah masalah. Ya ini adalah masalah, sekali lagi masalah. Nah, bagi seorang Caleg, sebuah masalah harusnya bisa dicarikan solusi. Jadi di baliho yang super besar itu Caleg harusnya berani menampilkan janji “Pilih saya menjadi anggota DPR dan saya akan sediakan koneksi internet gratis di setiap balai desa se kota Bau-Bau“.
Gimana, berani….?? 😂😂
Link : BaleBengong